
Kuliner Pasar Tradisional: Tahu Bulat Digoreng di Minyak Jelantah Tapi Laris Manis
“Tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan, anget-anget!”
Siapa yang tak kenal jingle legendaris ini? Tahu bulat sudah menjadi ikon kuliner jalanan, terutama di pasar-pasar tradisional yang selalu ramai sejak pagi buta. Bentuknya bulat sempurna, digoreng langsung di atas mobil bak terbuka atau wajan besar, dan biasanya—ya, tidak bisa dipungkiri—digoreng dengan minyak yang entah sudah dipakai berapa kali. Tapi anehnya, justru itulah yang membuatnya laris manis.
Murah, Cepat, dan Menggoda Aroma
Tahu bulat adalah contoh nyata bahwa kesederhanaan bisa menjual. Dibuat dari tahu putih yang diproses hingga mengembang saat digoreng, teksturnya kopong di dalam dan renyah di luar. Harga? Mulai dari Rp500 sampai Rp1.000 per biji, tergantung lokasi dan kepercayaan diri abang penjual.
Yang bikin menarik, tahu ini digoreng langsung di tempat. Aroma minyak panas yang bercampur bumbu rahasia khas tahu bulat menguar ke segala penjuru pasar, menyergap siapa pun yang lewat—bahkan yang tadinya cuma niat beli sayur.
Minyak Jelantah? Sudah Jadi Tradisi
Tidak semua, tapi banyak pedagang tahu bulat yang menggoreng dengan minyak yang sudah dipakai berulang kali. Warna https://www.innovativebeautyacademy.com/ minyaknya cenderung cokelat tua, bahkan nyaris kehitaman. Tapi ya begitulah realitanya. Di pasar tradisional, ini bukan hal asing. Selama tahu tetap mengembang sempurna dan rasanya gurih, tak banyak pelanggan yang protes.
Ada anggapan tak tertulis bahwa “semakin tua minyaknya, semakin legit rasanya.” Mungkin terdengar aneh, tapi coba saja tanya para pelanggan setia. Ada sesuatu dari kombinasi minyak panas dan bumbu bubuk yang bikin tahu bulat ini terasa khas—tak bisa disamai meski kamu goreng sendiri di rumah dengan minyak baru.
Bumbu Tabur: Kunci Candu Rasa
Setelah digoreng, tahu bulat biasanya ditaburi bumbu bubuk rasa balado, keju, barbeque, atau pedas manis. Bubuk ini bukan sekadar pelengkap, tapi penentu rasa dan daya tarik utama. Tanpanya, tahu bulat hanya akan terasa seperti tahu kopong biasa.
Bumbu inilah yang membuat anak-anak kecil hingga orang dewasa rela antre dan rebutan, apalagi saat penjualnya menyajikan tahu dari wajan dengan gaya teatrikal—dengan suara khas sutil menghantam besi dan seruan “dadakan, anget-anget!”
Kenikmatan Jalanan yang Tak Terbantahkan
Meski banyak yang sadar akan risiko kesehatan dari minyak jelantah, kenyataannya, tahu bulat tetap jadi favorit banyak orang. Mengapa? Karena murah, enak, dan punya nostalgia. Ia mengingatkan kita pada masa-masa sekolah, jajan sepulang ngaji, atau saat belanja ke pasar bersama ibu.
Tak semua kenikmatan datang dari dapur bersih dengan standar gizi. Kadang, kenikmatan justru datang dari wajan besar di pinggir jalan, asap menari di udara, dan suara minyak mendesis yang menggoda.
BACA JUGA: Kimbap ala Indonesia: Isian Ayam Suwir & Tempe Orek Perpaduan Korea & Nusantara